Sebelum menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlebih
dahulu saya ulas tentang sejarah KPK di Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang
bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas
pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan
undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh
lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK yang adalah koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan
tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman
kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan,BPK
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas
lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua
merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang
berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang
jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang
terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut
dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang
dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Soal:
1.
Mengapa KPK harus tetap ada?
Menurut Allen, Organisasi adlh suatu
proses identifikasi, pem-bentukan,pengelompokan kerja, mendefinisikan &
mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab, menetapkan hubungan dgn maksud
utk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara efektif dlm menuju tujuan yg
ditetapkan .
Dari penjelasan tentang organisasi diatas artinya dalam pembentukan atau
pendirian sebuah organisasi harus memiliki landasan dan tujuan yang jelas,
begitu pula dengan pembentukan lembaga-lembaga hukum yang ada di Indonesia
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Artinya semangat untuk mendirikan
lembaga KPK tentunya didasari pada kondisi kekinian yang ada di Indonesia
dengan berbagai permasalahan hukum dan korupsi yang menjangkiti hampir semua
lini institusi pemerintahan (Eksekutif, Legislatif bahkan Yudikatif). Melihat
kondisi kekinian Republik Indonesia KPK tentunya masih harus tetap ada.
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia dan/atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kewenangan
penyidik menurut Pasal 7 KUHAP adalah:
a.
menerima
laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b.
melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.
menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.
melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.
melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.
mengambil sidik
jari dan memotret seorang;
g.
memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.
mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.
mengadakan
penghentian penyidikan;
j.
mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jadi,
penyidik polri dapat melakukan penyidikan semua tindak pidana, termasuk tindak
pidana korupsi.
Selain
penyidik Polri dan penyidik PNS, kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”). Akan tetapi, berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan,
kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Kewenangan
kejaksaan terkait korupsi ini selain diberikan oleh UU Kejaksaan juga
diberikan oleh UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Penjelasan
Umum UU Kejaksaan lebih lanjut dijelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk
melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung
beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan
untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan
penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik
diatur dalam UU.
Selain
pihak polri dan kejaksaan, kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi
juga dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Tugas KPK menurut Pasal
6 UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) yaitu:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Wewenang
KPK terkait dengan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
adalah terhadap tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan Penjelasan
diatas sudah seharusnya KPK harus tetap ada di Republik Indonesia. Karena
walaupun ada 3 institusi yang berhak menangani kasus korupsi, akan tetapi dari
ketiga institusi tersebut memiliki beberapa perbedaan untuk saling melengkapi
guna memberantas kasus korupsi di Indonesia.
Semangat
untuk memberantas korupsipun telah ada sejak di masa Orde Lama, tercatat dua
kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat
aturan Undang-Undang
Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran). Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus
1967, Soeharto
terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam
hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi
harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK). Di era
reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.
Lembaga pemberantasan korupsi seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
saat ini harus tetap ada dan menjadi alat pertahanan negara paling
depan dalam melawan tindak pidana korupsi. Di Hongkong, katanya, paling tidak
dibutuhkan 20-25 tahun untuk menciptakan masyarakat yang tidak toleran terhadap
korupsi. Sama halnya di Indonesia melihat kondisi kekinian KPK masih
diperlukan.
2.
Apakah
KPK harus tetap ada?
Menurut Allen, Organisasi adlh suatu
proses identifikasi, pem-bentukan,pengelompokan kerja, mendefinisikan &
mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab, menetapkan hubungan dgn maksud
utk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara efektif dlm menuju tujuan yg
ditetapkan .
Dari penjelasan tentang organisasi diatas artinya dalam pembentukan atau
pendirian sebuah organisasi harus memiliki landasan dan tujuan yang jelas,
begitu pula dengan pembentukan lembaga-lembaga hukum yang ada di Indonesia
seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Variabel
yg mempengaruhi PRILAKU & PRESTASI
Berdasarkan
penjelasan diatas tentang pengertian organisasi dan variable yang mempengaruhi
perilaku dan prestasi, ketika segala hal ditas dapat dicapai dengan maksimal
maka, seyogyanya KPK sudah tidak diperlukan lagi, karena akan membuat
penggunaan anggaran negara semakin membengkak. Artinya Kepolisian dan Kejaksaan perlu memenuhi kaidah perilaku organisasi sesuai yang
di jelakan oleh Allen dan memenuhi variable perilaku dan prestasi (Variabel
individual, variable organisasi, variable perilaku individu dan variable
psikologis). Dari 4 variabel tersebut masih terdapat beberapa kelemahan pada
sistem yang sudah ada di dalam batang tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.
1.
Variabel Individual
Mental yang dimilki
aparat penegak hukum kita saat ini sangat memprihatinkan, banyak hal kasus
kasus hukum di Indonesia yang melibatkan para petinggi negara sehingga mental
untuk mengambil keputusan secara berani dan tegas sesuai undang-undang dan
fakta yang ada masih sangat dipertanyakan, tekanan dari berbagai pihak
menyelimuti para penegak hukum kita, baik itu tekanan politik ataupun tekanan
secara fisik. Aspek latar belakang keluargapun sangat mempengaruhi mental
setiap individu. Dari aspek mental inilah perlunya perbaikan secara individual
bagi para penegak hukum kita. Diperlukan mental dan latar belakang seorang
negarawan dan ksatria dalam hal pengambilan keputusan.
2.
Variabel Organisasi
a.
sumber
daya
sumber daya selain sumber
daya manusia sudah sangat mumpuni yang didapatkan oleh pihak penegakan hukum di
indonesia
b.
kepemimpinan
dalam hal kepemimpinan yang
ada pada institusi Kepolisian dan Kejaksaan masih sangat memprihatinkan, masih terdapatnya pemimpin
organisasi dalam Kepolisian dan Kejaksaan yang tersangkut kasus korupsi itu
sendiri seperti kasus Akil Muchtar (mantan Ketua Mahkamah Agung), kasus
Susnoduadji (mantan Kabareskrim Polri), hingga baru-baru ini kasus Budi Gunawan
(Calon Kapolri 2015) walaupun kasus Budi Gunawan masih tidak jelas dan transparan
mekanisme penyelesaiannya seperti apa, entah apakah ada deal-dealan politik
untuk menyelesaikan kasus KPK vs Polri baru-baru ini. Ini membuktikan bahwa
para pimpinan-pimpinan yang terdapat dalam Polri dan Kejaksaan perlu untuk di
benahi.
c.
Imbalan
Imbalan yang didapatkan
boleh jadi berupa gaji para pimpinan penegak hukum kita seperti hakim, jaksa,
dan kapolri dapat mencapai puluhan juta rupiah jika ditotal beserta tunjangan
yang diperolehnya. Untuk aspek imbalan seharusnya sudah mencukupi, akan tetapi jika
melihat hakikat manusia masih ada beberapa individu yang tidak pernah puas
dengan apa yang sudah didapatnya sehingga imbalan yang sudah diberikan dirasa
belum memusakan dan ini dapat memunculkan niatan untuk korupsi.
3. Variabel Psikologis
Pada variable
psikologis terdapat beberapa aspek diantaranya persepsi,
sikap, kepribadian, belajar, motivasi. Kelima aspek ini masih belum dimiliki
oleh para sebagian besar penegak hukum di Indonesia. Kerana variable psikologis
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar termasuk lingkungan keluarga
didalamnya.
Jika ditanya
apakah KPK harus tetap ada jawabannya adalah tidak. Jika unsur-unsur dalam pengertian organisasi itu sendiri
dan variable perilaku dan prestasi dapat diperbaiki dalam institusi Kepolisian
Republik Indonesia dan Kejaksaan. Kemudian kedua institusi tersebut harus
memenuhi kaidah struktur organisasi seperti penjelasan sebagai berikut:
Struktur organisasi mendefinisikan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan di koordinasikan scr formal.
Terdapat 6 unsur merancang struktur organisasi :
1. Spesialisasi pekerjaan
Sampai tingkat mana tugas dalam organisasi di pecah-pecah menjadi pekerjaan terpisah-pisah.
(seluruh pekerjaan dipecah-pecah menjadi sejlh langkah, dgn tiap langkah diselesaikan oleh individu yg berlainan, shg individu-individu ber spesialisasi dlm mengerjakan bagian kegiatan tertentu bknnya mengerjakan seluruh kegiatan.
2. Departementalisasi
Dasar yg dipakai utk pengelompokkan pekerjaan- pekerjaan sehingga tugas yg sama/mirip dpt di koordinasikan.
3. Rantai Komando
Garis wewenang yg tdk terputus-putus yg terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan mem- perjelas siapa melapor kesiapa.
4. Rentang Kendali
Jumlah bawahan yg dpt diatur manajer secara efektif dan efisien.
5. Sentralisasi
Tingkat dimana pengambilan keputusan dipusat kan pada titik tunggal dlm organisasi.
6. Formalisasi
Tingkat dimana pekerjaan dlm organisasi itu di bakukan.
(Jk pekerjaan diformalkan , pelaksanaan pkrjaan itu mempunyai kuantitas keleluasaan yg minimun mengenai apa yg hrs dikrjkan, kpn hrs dikrjkan, & bagaimana sehrsnya dikrjkan. Menangani masukan yg sama shg menghasilkan keluaran yg konsisten dan seragam).
Management Organisasi
Pengertian
management menurut Mary Parker Follet :
“…the art of
getting things done trough the others..” (seni mencapai sesuatu melalui orang lain). Definisi
umumya Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, dan
mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan
sumberdaya organisasi.
Jika dihubungkan dengan institusi/lembaga pemberantasan korupsi yang ada
maka bagaimana agar setiap manager/pimpinan sebuah lembaga dapat memanajemen
lembaga tersebut dengan baik, ketika manajemen dalam sebuah lembaga tidak berjalan
dengan maka dapat dikatakan bahwa lembaga tersebut akan sulit untuk mencapai
visi dan misinya. Artinya bisa jadi landasan di dirikannya KPK salah satunya
adalah tidak adanya manajemen yang baik dalam Kepolisian dan Kejaksaan. Karena
untuk merombak 2 institusi ini agar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya
dengan manajemen yang baik sangatlah sulit, sehingga muncul opsi untuk
membentuk lembaga baru yang yaitu KPK.
Jika semua kaidah-kaidah dalam
perilaku organisasi dan Manajemen Organisasi dapat diterapkan dengan baik oleh
Kepolisian dan Kejaksaan, maka KPK sudah tidak diperlukan lagi. Agar dapat
mengurangi pengeluaran negara dari aspek yang seharusnya tidak ada dikemudian
hari.
3.
Apa
yang harus dilakukan agar KPK tidak ada lagi?
Jika KPK ingin
dihapuskan maka seluruh landasan undang-undang yang melandasi berdirinya KPK
harus dihapuskan ataupun dengan cara melakukan Yudicial Review terhadap
undang-undang yang melandasi berdirinya KPK, tentunya akan melalui proses yang
sangat panjang, dan akan terjadi perdebatan yang alot di tingkat regulator
yakni dipihak DPR selaku lembaga legislatif yang ada di Indonesia, belum lagi
menghadapi tekanan Publik yang Pro maupun Kontra terhadap KPK. Artinya bukan
tidak mungkin KPK dapat dihapuskan jika ada sinergisitas antara pihak Eksekutif
dan Legislatif serta dukungan dari masyarakat. akan tetapi jika institusi
Kepolisian dan Kejaksaan telah bersih dari korupsi dan orang-orang dalam kedua
lembaga tersebut memeiliki Kredibilitas dan Integritas yang mumpuni, maka akan
sangat mudah untuk menidakan KPK.