Sabtu, 16 Mei 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)



Sebelum menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlebih dahulu saya ulas tentang sejarah KPK di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK yang adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan,BPK
 
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal  yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
 

Soal:

1.   Mengapa KPK harus tetap ada?

Menurut Allen, Organisasi adlh suatu proses identifikasi, pem-bentukan,pengelompokan kerja, mendefinisikan & mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab, menetapkan hubungan dgn maksud utk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara efektif dlm menuju tujuan yg ditetapkan . 

Dari penjelasan tentang organisasi diatas artinya dalam pembentukan atau pendirian sebuah organisasi harus memiliki landasan dan tujuan yang jelas, begitu pula dengan pembentukan lembaga-lembaga hukum yang ada di Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Artinya semangat untuk mendirikan lembaga KPK tentunya didasari pada kondisi kekinian yang ada di Indonesia dengan berbagai permasalahan hukum dan korupsi yang menjangkiti hampir semua lini institusi pemerintahan (Eksekutif, Legislatif bahkan Yudikatif). Melihat kondisi kekinian Republik Indonesia KPK tentunya masih harus tetap ada.
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia dan/atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kewenangan penyidik menurut Pasal 7 KUHAP adalah:
a.      menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b.      melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.      menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.      melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.      melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.       mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.      memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.      mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.        mengadakan penghentian penyidikan;
j.        mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jadi, penyidik polri dapat melakukan penyidikan semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Selain penyidik Polri dan penyidik PNS, kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”). Akan tetapi, berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Kewenangan kejaksaan terkait korupsi ini selain diberikan oleh UU Kejaksaan juga diberikan oleh UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan lebih lanjut dijelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU.
Selain pihak polri dan kejaksaan, kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Tugas KPK menurut Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) yaitu:
a.   koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.   supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.    melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.     melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Wewenang KPK terkait dengan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi adalah terhadap tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
a.    melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.        mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.         menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Berdasarkan Penjelasan diatas sudah seharusnya KPK harus tetap ada di Republik Indonesia. Karena walaupun ada 3 institusi yang berhak menangani kasus korupsi, akan tetapi dari ketiga institusi tersebut memiliki beberapa perbedaan untuk saling melengkapi guna memberantas kasus korupsi di Indonesia.

Semangat untuk memberantas korupsipun telah ada sejak di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.

Lembaga pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk saat ini harus tetap ada dan menjadi alat pertahanan negara paling depan dalam melawan tindak pidana korupsi. Di Hongkong, katanya, paling tidak dibutuhkan 20-25 tahun untuk menciptakan masyarakat yang tidak toleran terhadap korupsi. Sama halnya di Indonesia melihat kondisi kekinian KPK masih diperlukan.

2.        Apakah KPK harus tetap ada?

Menurut Allen, Organisasi adlh suatu proses identifikasi, pem-bentukan,pengelompokan kerja, mendefinisikan & mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab, menetapkan hubungan dgn maksud utk memungkinkan orang-orang bekerja sama secara efektif dlm menuju tujuan yg ditetapkan . 

Dari penjelasan tentang organisasi diatas artinya dalam pembentukan atau pendirian sebuah organisasi harus memiliki landasan dan tujuan yang jelas, begitu pula dengan pembentukan lembaga-lembaga hukum yang ada di Indonesia seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Variabel yg mempengaruhi PRILAKU & PRESTASI


Organization Chart
 










Berdasarkan penjelasan diatas tentang pengertian organisasi dan variable yang mempengaruhi perilaku dan prestasi, ketika segala hal ditas dapat dicapai dengan maksimal maka, seyogyanya KPK sudah tidak diperlukan lagi, karena akan membuat penggunaan anggaran negara semakin membengkak. Artinya Kepolisian dan Kejaksaan perlu memenuhi kaidah perilaku organisasi sesuai yang di jelakan oleh Allen dan memenuhi variable perilaku dan prestasi (Variabel individual, variable organisasi, variable perilaku individu dan variable psikologis). Dari 4 variabel tersebut masih terdapat beberapa kelemahan pada sistem yang sudah ada di dalam batang tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.
1.        Variabel Individual
Mental yang dimilki aparat penegak hukum kita saat ini sangat memprihatinkan, banyak hal kasus kasus hukum di Indonesia yang melibatkan para petinggi negara sehingga mental untuk mengambil keputusan secara berani dan tegas sesuai undang-undang dan fakta yang ada masih sangat dipertanyakan, tekanan dari berbagai pihak menyelimuti para penegak hukum kita, baik itu tekanan politik ataupun tekanan secara fisik. Aspek latar belakang keluargapun sangat mempengaruhi mental setiap individu. Dari aspek mental inilah perlunya perbaikan secara individual bagi para penegak hukum kita. Diperlukan mental dan latar belakang seorang negarawan dan ksatria dalam hal pengambilan keputusan.
2.        Variabel Organisasi

a.       sumber daya
sumber daya selain sumber daya manusia sudah sangat mumpuni yang didapatkan oleh pihak penegakan hukum di indonesia
b.      kepemimpinan
dalam hal kepemimpinan yang ada pada institusi Kepolisian dan Kejaksaan masih sangat  memprihatinkan, masih terdapatnya pemimpin organisasi dalam Kepolisian dan Kejaksaan yang tersangkut kasus korupsi itu sendiri seperti kasus Akil Muchtar (mantan Ketua Mahkamah Agung), kasus Susnoduadji (mantan Kabareskrim Polri), hingga baru-baru ini kasus Budi Gunawan (Calon Kapolri 2015) walaupun kasus Budi Gunawan masih tidak jelas dan transparan mekanisme penyelesaiannya seperti apa, entah apakah ada deal-dealan politik untuk menyelesaikan kasus KPK vs Polri baru-baru ini. Ini membuktikan bahwa para pimpinan-pimpinan yang terdapat dalam Polri dan Kejaksaan perlu untuk di benahi.
c.      Imbalan
Imbalan yang didapatkan boleh jadi berupa gaji para pimpinan penegak hukum kita seperti hakim, jaksa, dan kapolri dapat mencapai puluhan juta rupiah jika ditotal beserta tunjangan yang diperolehnya. Untuk aspek imbalan seharusnya sudah mencukupi, akan tetapi jika melihat hakikat manusia masih ada beberapa individu yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatnya sehingga imbalan yang sudah diberikan dirasa belum memusakan dan ini dapat memunculkan niatan untuk korupsi.

   3. Variabel Psikologis
Pada variable psikologis terdapat beberapa aspek diantaranya persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi. Kelima aspek ini masih belum dimiliki oleh para sebagian besar penegak hukum di Indonesia. Kerana variable psikologis sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar termasuk lingkungan keluarga didalamnya.
 

Jika ditanya apakah KPK harus tetap ada jawabannya adalah tidak. Jika unsur-unsur dalam pengertian organisasi itu sendiri dan variable perilaku dan prestasi dapat diperbaiki dalam institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan. Kemudian kedua institusi tersebut harus memenuhi kaidah struktur organisasi seperti penjelasan sebagai berikut:

Struktur organisasi mendefinisikan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan di koordinasikan scr formal.

Terdapat 6 unsur merancang struktur organisasi :

1.  Spesialisasi pekerjaan

     Sampai tingkat mana tugas dalam organisasi di pecah-pecah menjadi pekerjaan terpisah-pisah.

      (seluruh pekerjaan dipecah-pecah menjadi sejlh langkah, dgn tiap langkah diselesaikan oleh individu yg berlainan, shg individu-individu ber spesialisasi dlm mengerjakan bagian kegiatan tertentu  bknnya mengerjakan seluruh kegiatan.

2. Departementalisasi

     Dasar yg dipakai utk pengelompokkan pekerjaan- pekerjaan sehingga tugas yg sama/mirip dpt di koordinasikan.

3. Rantai Komando

     Garis wewenang yg tdk terputus-putus yg terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan mem- perjelas siapa melapor kesiapa.

4. Rentang Kendali

     Jumlah bawahan yg dpt diatur manajer secara efektif dan efisien.

5. Sentralisasi

     Tingkat dimana pengambilan keputusan dipusat kan pada titik tunggal dlm organisasi.

6. Formalisasi

     Tingkat dimana pekerjaan dlm organisasi itu di bakukan.

     (Jk pekerjaan diformalkan , pelaksanaan pkrjaan itu mempunyai kuantitas keleluasaan yg minimun mengenai apa yg hrs dikrjkan, kpn hrs dikrjkan, & bagaimana sehrsnya dikrjkan. Menangani masukan yg sama shg menghasilkan keluaran yg konsisten dan seragam).


Management Organisasi
Pengertian management menurut Mary Parker Follet :
“…the art of getting things done trough the others..” (seni mencapai sesuatu melalui orang lain). Definisi umumya Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumberdaya organisasi.

Jika dihubungkan dengan institusi/lembaga pemberantasan korupsi yang ada maka bagaimana agar setiap manager/pimpinan sebuah lembaga dapat memanajemen lembaga tersebut dengan baik, ketika manajemen dalam sebuah lembaga tidak berjalan dengan maka dapat dikatakan bahwa lembaga tersebut akan sulit untuk mencapai visi dan misinya. Artinya bisa jadi landasan di dirikannya KPK salah satunya adalah tidak adanya manajemen yang baik dalam Kepolisian dan Kejaksaan. Karena untuk merombak 2 institusi ini agar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan manajemen yang baik sangatlah sulit, sehingga muncul opsi untuk membentuk lembaga baru yang yaitu KPK.


Jika semua kaidah-kaidah dalam perilaku organisasi dan Manajemen Organisasi dapat diterapkan dengan baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka KPK sudah tidak diperlukan lagi. Agar dapat mengurangi pengeluaran negara dari aspek yang seharusnya tidak ada dikemudian hari.


3.        Apa yang harus dilakukan agar KPK tidak ada lagi?

Jika KPK ingin dihapuskan maka seluruh landasan undang-undang yang melandasi berdirinya KPK harus dihapuskan ataupun dengan cara melakukan Yudicial Review terhadap undang-undang yang melandasi berdirinya KPK, tentunya akan melalui proses yang sangat panjang, dan akan terjadi perdebatan yang alot di tingkat regulator yakni dipihak DPR selaku lembaga legislatif yang ada di Indonesia, belum lagi menghadapi tekanan Publik yang Pro maupun Kontra terhadap KPK. Artinya bukan tidak mungkin KPK dapat dihapuskan jika ada sinergisitas antara pihak Eksekutif dan Legislatif serta dukungan dari masyarakat. akan tetapi jika institusi Kepolisian dan Kejaksaan telah bersih dari korupsi dan orang-orang dalam kedua lembaga tersebut memeiliki Kredibilitas dan Integritas yang mumpuni, maka akan sangat mudah untuk menidakan KPK.